
Data buku kumpulan puisi
Judul : Hujan Meminang Badai
Penulis : Tri Astoto Kodarie
Cetakan : I, Maret 2007
Penerbit : AKAR Indonesia, Yogyakarta.
Tebal : xxviii + 124 halaman (115 puisi)
ISBN : 978-979-9983-88-6
Supervisi & Desain Sampul : Joni Ariadinata
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Desain isi : Dhien
Ilustrasi sampul : Entang Wiharso
Produksi : Aida Idris
Prolog : Maman S. Mahayana
Beberapa pilihan puisi Tri Astoto Kodarie dalam Hujan Meminang Badai
Perahu Layar Lewat Jauhan
angin yang basah di pagi mendung
gulungan ombak-ombak di fatamorgana
terayun-ayun nelayan di tengah nasibnya
menunggu matahari kembara
dan perahu layar lewat di jauhan
hendak menjala mimpi
atau menghanyutkan kerinduan?
parepare, 1986-1987
Potret Nelayan Adalah Tembang Jiwa Kami
jauh amat, perahu-perahu pinisi nembus kegelapan
hitam cakrawala hitam nasib hitam ketaktentuan
kelap-kelip lentera berpendar
terangi kecemasan gelombang
kibar-kibar layar dihempas kesiur angin yang bimbang
o, adakah kedamaian memintas cakrawalamu?
menatap hidup menatap nasib keterlanjuran hakekat
saat ditempuhnya usia di dalam hati yang pekat
tapi tak pernah sangsikan keyakinan yang erat
meskipun masa lalu telah tumbang dan sekarat
o, nelayan-nelayan perkasa yang menaklukkan kejemuan
masihkah melagukan gelegar gelombang?
parepare, 1988
Tembang Nelayan Dinihari
ada yang terkabarkan dari kepulangan itu
geladak perahumu bau ikan dan membisu
sementara tangan-tangan ombak menyatu
sangsi dan lesu
adakah keringatmu masih berbau garam?
keletihan adalah buih-buih yang menghilang
di laut yang tak lagi jernih
di zaman yang semakin pedih
tapi kenapa termangu-mangu
memandang nasib di cermin waktu?
pulanglah bersama lintang kemukus
gugusan pulau di jauhan
gugusan risau di genggaman
meskipun kita hanya tahu:
di ujung sana ada batas
parepare, 1997
Nyanyian Pantai
suara gemuruh yang meluluhkan langkahku
mungkin dapat menghitung belas kasih
dari ranting-ranting angin pantai yang patah
atau jerit camar menggelepar menahan perih
aduh, ibu, kukejar lidah ombak
sambil tak henti-hentinya berteriak
dilecut kemarau panjang
dan hari-hari yang terasa gersang
aduh, ibu, kukejar bayang-bayangmu
dalam beribu jarak yang semu
aduh, ibu, kukejar mimpi-mimpimu
di ruas-ruas nasib yang ngilu
parepare, 1997
Biarkan Layar Berkibar
biarkan layar berkibar bersama angin
melambai-lambai di langit lepas karena kemerdekaan
seperti perahu-perahu yang melesat di laut bebas
layarnya adalah mata hati menjelma menjadi kompas
keringatnya adalah kehidupan yang menetes di buritan
nasibnya menyatu bersama badai berkilatan
biarkan layar berkibar bersama air mata
seperti gelombang yang tergenggam di tangan kita
mengepalkan tangan matahari tanda keberangkatan
membawa mimpi anak-anak di langit kemerahan
biarkan layar berkibar di atas perahu-perahu
yang mengantarkan gelombang pada laut
karena serangkaian kata merdeka yang kita tahu
hanyalah sebatas damai dan maut
parepare, 2003
Teluk Parepare
dulu, tanganmu riang bercengkerama di sini
jernih buih ombak dan camar yang menggerombol
anginnya menjadi rumah bagi kehangatan nelayan
peluh meleleh bagai linangan yang berani
tanganmu tak lagi menggerakkan simbol
tapi menghamburkan sisa perjanjian
ingatlah, buih ombakmu sekali waktu
menjelma menjadi karang
yang selalu merindukan diterjang gelombang
ingatlah, di teluk ini hanya ada gelombangku
yang menggoyang pinggulmu sampai kaku
sungguh, kunikmati buih ombakmu
menggelepar bersama ganggang yang hanyut itu
parepare, 2002
Eksotisme Ombak
meniti ombak laksana tarian yang penuh gerak
sampan melesat
mengejutkan ikan-ikan
melesatkan kecipaknya
sembunyi di karang-karang
siapa yang menghembuskan angin
dinginnya begitu kukenal
tapi ombak membaca kesetiaan
di pesisir pantai yang dangkal
seperti ombakmu memecah gelora birahi
suaranya melebihi petir siang hari
tapi biarkan kerinduan ini kubangun dengan angin
sebelum gerak sampan membawa pulang bau garam
parepare, 2002
Meditasi Batu Karang
kapan kupanggil angin samudera menari-nari
mempermainkan camar, gelombang pasang menabur
isyaratkan senja bakal berbenih malam
o, lapar mengorek luka
merasuk pada gigil tubuh di puncak keheningan
kapan kuraup milyaran ikan yang berloncatan
di sukmaku
lalu berenang dengan sirip menyentuh karang
perjalanan bukan hanya berhenti sampai batas impian
kematian hanya terminal yang tercermin
di dasar samudera
kapan bisa kukunyah-kunyah batu karang
agar dapat kurasakan perihnya
o, angin samudera
jangan kau robek-robek heningnya
parepare, 1987
Catatan di Pantai Losari
waktu selesai sudah ketika arak-arakan awan
berpamitan entah kendak ke mana
yang kutahu hanyalah mimpi-mimpi semalam
dalam kecemasan mencekik sukma
kutatap langit luas
meskipun terlintas tentang hamparan harapan
yang cuma merapuh di persinggahan
dan tak akan pernah terangkai dalam catatan
pertahankan bayang semesta
yang bergetar
hingga pada kegelisahan yang berpesta
merunduk, menapaki pinggiran pantai
masih menyala harapan
parepare, 1986-1987
Sajak dari Perkampungan Nelayan
selamat siang, saudaraku
pelaut-pelaut bugis yang perkasa
lihatlah matahari terkantuk-kantuk kelelahan
menggelantung diam di pusat perjuangan
kesaksian abadi
selamat malam, saudaraku
mari sama-sama kita tebarkan jala kebangsaan
di tengah-tengah misteri lautan
pertaruhkan jiwa
tak usah hiraukan zaman yang semakin menyakitkan
sementara anak-istri masih setia
menunggu kita pulang dari pergulatan nasib
dan matahari itu adalah satu-satunya
kesaksian abadi kita
parepare, 1982
Sajak Gelombang
di laut ini
gelombang selalu saling mendahului
tak ada yang sama
sementara kita masih saja
sendiri, sendiri
setiap pagi kita di sini
dan tanpa kita sadari
kita menaiki gelombang
yang selalu memecah itu
yang selalu menghantam batu
yang kita pandang itu
tapi setiap hari, setiap waktu
kita masih saja
sendiri
selalu
semarang, 1980
Ketika Kapal Merapat di Dermaga
ada yang datang dan pergi
membawa kopor-kopor, gelisah dan keasingan
sebelum segalanya terkemaskan untuk menuju sampai
pernahkah orang-orang itu mengingat asal dan tujuan?
tak pernah terbayangkan orang-orang itu
menggenggam pedih atau nyanyian semesta
dalam gelak tawa atau kebingungan
mencari langit yang menyemaikan segala angan
o, hendak ke manakah mereka?
ketika kapal merapat di dermaga
lampu-lampu telah letih menciptakan bayang
dari reruntuhan sepi dan kegelapan yang menghadang
tapi orang-orang itu tak lelah-lelahnya
membangun harapan dari sisa-sisa pembangkangannya
karena kota telah menjadi lautan
dengan ombak besar dan ikan-ikan yang menggelepar
dan orang-orang itu
tak juga letih memperpanjang kebohongan
parepare, 1996
Bulan Terbentur Gelombang
ada bulan pucat dipermainkan gelombang
menari di lekuk dinginnya malam
ada lelaki pucat telanjang dada
mengayuh sampan daun lontar
mengejar buih negeri bayang-bayang
angin timur mendera menghanyutkan malam
pantai di jauhan nampak tenggelam
nasib melintas-lintas menampar gelombang
hidup atau mati bersama bulan tengah malam
sebab tak ada pilihan selain ketabahan
ia adalah lelaki jantan
pelaut ulung dari makassar
berani membelah samudera
dengan doa dan sebilah badik
serta keringat yang bergaram
ia adalah lelaki jantan
yang mencari lengan-lengan gelombang
untuk dipeluknya
ia adalah lelaki jantan
yang menembus rusuk-rusuk karang
bersama bulan kesepian
ada lelaki pucat telanjang dada
mendulang mimpi menetak rindu
saat bulan terbentur karang
ia terdampar di pantai biru nasibnya
parepare, 1995
Dermaga
sudah kuhitung dengan jari-jari gemetaran
perahu-perahu yang bersandar
atau buih-buih ombak yang lamban berpacu
padahal pohon-pohon nyiur pun yakin
bahwa sejarah akan kembali dari pelayarannya
sudah kuhitung dengan jari-jari gemetaran
tentang pengembaraan para nelayan
di tengah laut luka
sembunyikan rahasia semesta!
parepare, 1992
Surat Buat Gadis Pencari Kerang
kalau pasir itu telah tergores
dan melukiskan jejak-jejakmu
senyummu manis, gadis, menawarkan segar angin pantai
kulitmu legam, gadis, mengisyaratkan matahari
di jiwamu
kalau buih ombak menciumi bibir pantai
dan menyisakan basah di geriap rambutmu
langkahmu gemulai, gadis, menari lembut di atas pasir
matamu berbinar, gadis, menatap cakrawala terbuka
di sudut matamu
parepare, 1990
Hendaklah Sajak-Sajak Ini
hendaklah sajak-sajak ini sekali waktu
membungkam mimpi-mimpi hitamku
yang selalu menelusuri wajah bumi kesepian
memeluk nasib yang kuyup peluh
hendaklah sajak-sajak ini selau menghitung hari
agar dapat mencecap hidup yang cuma sementara
dan hendaklah sajak-sajak ini
menjadi air kehidupan
biar bisa kubasuh legamnya jelaga
dan alpa waktu
parepare, 1986-1987
Puisi
di luar rencana kucium keningmu, angin
yang bermula dari rindu
ketika engkau menggeriap
aku pun menyongsongmu
dengan langkah tak terduga
di luar rencana kucium keningmu, angin
langit menggigil dalam sunyi
ketika kutulis puisi ini
gaung subuhMu menggema
kau tebarkan kata
dan jiwaku menjalanya
parepare, 1990
Hujan Meminang Badai
ceritakan padaku tentang mendung
atau petir yang melantangkan kidung
menitikkan air mata
aku lupa membawa peta
jika kabut dan hujan
menyesatkan segala kenangan
hujan menjadi demikian cemas
tuhan pun melihatku berkemas
sebelum badai
dan tangan ombak melambai
berserah diri
di sudut hari
parepare, 2006-2007
Mata Laut
kuingin gelombang pasang malam ini
dapat berubah menjadi bintang-bintang
menerangi ikan-ikan yang bermain di arus
atau geliat nafasmu yang tak putus-putus
kuingin gelombang pasang malam ini
dapat berubah menjadi tangis
meneteskan air mata, mengalirkan kenangan
dari rahim kegelisahan yang tak sempurna
kuingin gelombang pasang malam ini
bersaksi di pusaran mata laut
atas segala tetes keringat
yang menyatu membasuh malam
parepare, 2004
Zikir
tuhan, beri aku langkah
agar dapat kukejar bayangMu
yang memintas semesta
tuhan, beri aku kenyang
sepiring nasi dan ikan kering
penawar kegelisahan sukma di kubangan hidup
tuhan, beri aku tidur
dan mimpi mencium kesederhanaanMu
parepare, 1987
Tentang Tri Astoto Kodarie
Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, 29 Maret 1961. Menyelesaikan pendidikan pascasarjana program khusus Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Makassar. Bekerja sebagai Kepala SMP Negeri Parepare. Menerima anugerah seni bidang sastra dari Dewan Kesenian Sulawesi Selatan pada tahun 2000. Puisinya tersebar di berbagai media massa, majalah, antologi bersama. Kumpulan puisinya: Nyanyian Ibunda (1992) dan Sukma yang Berlayar (1995).
Catatan Lain
Ada tiga tulisan yang mengantar antologi puisi ini. Pengantar Penerbit (hlm xiii), Pengantar Penyair (hlm. xv) dan Pengantar dari Maman S. Mahayana, yang dijuduli, Pencintaan dengan Alam (hlm. xvii-xxvii).
Penyair menulis bahwa buku Hujan Meminang Badai merangkum perjalanan panjang selama 27 tahun, sejak tahun 1980-2007. Puisi yang ditulis mulai dari Purbalingga (kota asal di Jawa tengah), Yogyakarta, Semarang, Bogor, dan kota yang menjadi tempat kelahiran keduanya, Parepare. Adapun Maman S. Mahayana, di satu bagian ada menulis sbb: ?Secara keseluruhan, antologi puisi ini menggambarkan bagaimana sosok Tri Astoto Kodarie tak dapat menghindar dari sikap reflektifnya dalam menggauli lingkungannya. Ia mencerap situasi di sekitar dan kemudian merefleksikannya kembali dengan alam ? sebagaian besar ? sebagai alat metaforanya.?
Halaman persembahan, seperti kebanyakan penyair kita, kembali menghadirkan keluarga tercinta. Begini bunyinya: persembahan/buat kekasih dan sahabat/yang menemani dalam perjalanan hidup:/Muliana/Aditya Perdanakusuma/Prasastie Gita Wulandari/dan/Muh. Zenda Adiputra.
reff : http://kepadapuisi.blogspot.com/2015/06/hujan-meminang-badai.html
Post a Comment